Pemahaman-Pemahaman Tentang Sosio-Antropologi Perkotaan

Pemahaman-Pemahaman Tentang Sosio-Antropologi Perkotaan
Antropologi Kota

Kota adalah pusat kehidupan yang dapat dilihat dari berbagai macam sudut pandang pendekatan. Aspek tersebut memberikan gambaran bahwa kota menjadi tempat manusia atau masyaakat berperilaku mengisi aktifitas kehidupannya sehari-hari. Dengan berperilaku manusia dapat dilihat melalui teropong sosiologi maupun antropologinya, atau dapat juga dilihat dari aspek fisik perkotaan yang akan memberikan kontribusi pada perilaku sosio-antropologinya (manusia dan struktur sosialnya).

Pada awal perkembangannya, Antropologi memusatkan perhatiannya kepada masyarakat primitif. Perhatian ini timbul karena ada sesuatu yang dianggap sebagai keganjilan pada tingkah laku masyarakat tertentu, yaitu pada masyarakat pedalaman-pedalaman. Akan tetapi lama-kelamaan, mereka tidak lagi melihat tingkah laku itu sebagai sesuatu yang ganjil, melainkan sebagai sesuatu yang masih dekat dengan alam, dan masih berada dalam tahap perkembangan.

Kata antropologi, diambil dari bahasa Yunani anthropos (human) dan logia (study), sedangkan antropologi adalah “the study of man” atau “the study of humankind”. Kemudian distribusi dari (urban anthropology) antropologi perkotaan jelas mendukung sosio-kultural antropologi, bagaimana pun, mereka mengakui bahwa arkeologi telah memberikan kontribusi signifikan pada studi peradaban dan sistem spasial perkotaan. Istilah antropologi perkotaan mulai digunakan pada tahun 1960-an.

Dengan perubahan difokuskan pada “urban anthropology” melawan tradisi antropologi yang menekankan pada “primitif” dan masyarakat petani, mengasingkan tentang perkotaan, kelompok dan masyarakat industri (Basham 1978). Kemunculan dari antropologi perkotaan juga diakibatkan oleh Perang Dunia ke-II dan proses dekolonisasi. Dalam pandangan para pakar urban anthropology, ketertarikan pada kota telah membenarkan tuntutan akan tradisi antropologi yang menaruh perhatian pada keseluruhan dan bermacam budaya manusia serta masyarakat. Secara teoritis, antropologi perkotaan melibatkan studi dari sistem budaya kota baik hubungan dari kota terhadap tempat-tempat yang luas dan kecil, serta penduduk sebagai bagian dari sistem perkotaan (Kemper 1996).

Di Amerika antropologi di bagi menjadi empat bidang :
  1. Sociocultural anthropology (sosiokultural antropologi), studi mengenai adat-istiadat dan masyarakat; 
  2. Archaeology (arkeologi), studi mengenai pra-sejarah manusia;
  3. Linguistics (linguistik), studi mengenai bahasa; dan
  4. Physical anthropology (antropologi fisik/ragawi), studi mengenai fisiologi manusia. 
Sedangkan secara tradisional antropologi telah dibagi ke dalam :
  1. Cultural anthropology (antropologi budaya) yang terdiri dari beberapa sub-bidang: (a) antropologi sosial (social anthropology) atau etnologi (ethnology) berurusan dengan studi komparatif dari kebudayaan dan kemasyarakatan; (b) arkeologi (archeology) berurusan dengan rekonstruksi dari kehidupan manusia di masa lalu melalui analisa artifak dan benda peninggalan dari budaya yang punah; dan (c) anthropological linguistics (antropologi linguistik) merupakan studi bahasa sebagai cara kerja pertama dari komunikasi manusia.
  2. Physical anthropology (antropologi fisik/ragawi) adalah bersangkutan dengan evolusi spesies manusia, dan karakter biologis dari populasi manusia yang lalu dan sekarang.
Perbedaan cara pandang sosiologi dan antropologi muncul pada human relations nya. Cara pandang sosiologi secara kontras tidak membicarakan orang tertentu dari kota akan tetapi lebih pada keterikatan hubungan personal dengan rural life. Cara pandang ini berkembang lebih awal dalam ilmu sosial dengan pemikiran evolusi sosial. Hal itu merupakan refleksi studi “Suicide” dari Emile Durkheim (1897), dengan konsep anomie atau state of normlessness. Anomie suicide merupakan karakter bagi mereka yang hidup terisolasi, dari dunia impersonal. Ferdinand Tönnies (1887), membuat jarak antara Gemeinschaft (community) dan Gesellschaft (society) konsep dasarnya, secara kontras untuk mendalami hubungan kontraktual pertalian karakter masyarakat kapitalis dan aktivitas bersama dari masyarakat feudal. Sedangkan Louis Wirth (1938) dalam “Urbanism as a way of life”, mengembangkan teori pengaruh dalam organisasi sosial dan perilakunya urban life. Louis Wirth menyatakan bahwa urbanisme akan baik bila pendekatannya dilakukan dari tiga perspektif (cara pandang) yang saling berhubungan (inter-related):
  • as a physical structure (struktur fisiknya); 
  • as a system of social organization (sistem dari organisasi sosialnya); dan 
  • as a set of attitudes and ideas and a “constellation of personalities” (tatanan perilaku dan gagasan serta “kumpulan dari kepribadian”). 
Sedangkan cara pandang Antropologi lebih pada pertalian keluarga dan kelompok yang similar terkait dengan urban setting. Kota-kota di Afrika Barat, kehidupan perkotaan hampir keseluruhannya diorganisasi oleh klan (marga) dan kesukuan. Hal itu juga terdapat di Indonesia, China, dan Taiwan.


Sosiologi Perkotaan

Apa sosiologi itu? Sosiologi adalah studi empiris dari struktur sosial (kemasyarakatan). Struktur sosial tidak sekedar hanya individu dan perilaku individu. Struktur sosial termasuk di dalamnya kelompok, pola sosial, organisasi, instruksi sosial, keseluruhan masyarakat, dan tentu saja perkotaan. Atau lebih jelasnya ilmu sosiologi adalah yang mengkaji atau menganalisis segi-segi kehidupan manusia bermasyarakat dalam kawasan kota atau perkotaan. Karakter kota dan masyarakat:
  • Kota mempunyai fungsi-fungsi khusus;
  • Mata pencaharian penduduknya di luar agraris;
  • Adanya spesialisasi pekerjaan warganya;
  • Kepadatan penduduk;
  • Ukuran jumlah penduduk;
  • Warganya (relatif) mobility;
  • Tempat permukiman yang tampak permanen; dan
  • Sifat-sifat warganya yang heterogen, kompleks, social relations yang impersonal dan eksternal, dan lain sebagainya. 
Kemudian ilmu tersebut berkembang dan berkaitan dengan apa yang dinamakan urban sosiologi (sosiologi perkotaan). Urban sosiologi adalah merupakan sub-disiplin di dalam sosiologi difokuskan pada urban environment (lingkungan perkotaan).


Politik Ekonomi dari Kota

Istilah dari “politik ekonomi” menunjukkan adanya pengaruh dari kekuatan politik dan ekonomi dalam masyarakat. Kekuatan politik dan ekonomi nampak menjadi pendorong utama dari aktivitas perkotaan. Dalam perspektif spasial sosial, kota merupakan produk dari faktor-faktor ekonomi, politik, budaya, dan geografi. Namun dari sudut pandang sosiologi perkotaan sesungguhnya adalah merupakan area studi interdisipliner, artinya bahwa bidang lain dari sosiologi memberikan sumbangan besar pada pemahaman kita terhadap kota.

Geografi, ilmu politik, ekonomi, sejarah, antropologi, dan psikologi keseluruhan studinya mengenai beberapa aspek dari lingkungan perkotaan dan memberikan sumbangan pada kita, yaitu pengetahuan tentang lingkungan perkotaan. Tentu saja di dalamnya terdapat ‘dependent variable’ bagaimana kekuatan-kekuatan eksternal, yaitu variabel yang independent mempengaruhi lingkungan perkotaan :
  • Pengaruh dari segregasi rasial dari sistem ekonomi di dalam kota;
  • Pengaruh dari batas-batas geografi (pegunungan) terhadap perkembangan kota; dan
  • Pengaruh dari kejadian sejarah (peperangan) terhadap perkembangan kota. 
Sedangkan karakter dari lingkungan perkotaan harus memenuhi :
  • Luas, secara kultural merupakan kelompok masyarakat yang heterogin;
  • Bukan area pertanian di mana bahan mentah diproses dari pada produksi;
  • Sebagai pusat administrasi, menampilkan fungsi-fungsi administrasi yang substansial untuk masyarakat yang luas; dan
  • Tingkat populasinya tinggi.

Antropolgi Perkotaan sebagai Kelompok Sosial

Antropologi perkotaan pertama kali dikenal melalui sosiologi perkotaan, terutama dalam perspektif istilah yang berbeda. Studi-studi sosiologi lebih difokuskan dalam issue penggalan (fragmented), antropologi perkotaan secara teoritis sedikit mengarah pada pendekatan holistik (Ansari & Nas 1983:2).

Beberapa definisi mengenai Sosiologi :
  • Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial (WF. Ogburn & MF. Nimkoff). 
  • Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kehidupan kelompok (Roucek & Warren). 
  • Sociology, the scientific study of human interaction (James W. Vander Zanden 1979:626).
Dari tahun 1930-an sampai dengan 1950-an antropologi kebudayaan telah tumbuh dan lebih ditekankan pada studi masyarakat petani serta impaknya terhadap kota-kota dan kehidupannya (Redfield 1947). Perhatian yang lebih utama diberikan pada migrasi desa-kota, urban adaptation, etnik, dan kemiskinan (Lewis 1968; Hannerz 1969). Kemudian Fox (1977) mengidentifikasi lima perbedaan tipe dari kota, serta membahas hubungan kota dan masyarakat yang lebih luas terpancang di dalamnya. Akhirnya Basham (1978) menawarkan sebuah diskusi dari studi masyarakat perkotaan dan beberapa topik yang mempunyai hubungan.


Metodologi 

Permasalahan yang paling utama pada antropologi perkotaan adalah aplikasi dua teknik pendekatan antropologi, yaitu partisipan-observasi dan holistik di dalam riset perkotaan. Teknik dari metode antropologi ditekankan pada suku (tribe) dan masyarakat perdesaan/petani di mana hal itu lebih terbuka dan memungkinkan untuk pengembangan hakekat hubungan personal setiap orang di masyarakat. Para pakar antropologi perkotaan diminta untuk memperluas pengetahuan dalam mengembangkan kemampuan dengan memasukkan materi-materi tertulis, survei, studi kesejarahan, novels (ceritera-ceritera), dan sumber-sumber lainnya. Tantangan dari para pakar antropologi perkotaan adalah untuk menata keseluruhan sumber materi yang berbeda dan untuk mencoba realitas kelompok yang lebih luas tanpa mengorbankan penjelasan dengan mengkarakterisasi etnografi dan antropologi secara umum.

Dalam skala yang luas tujuan dari studi-studi antropologi perkotaan didominasi :
  1. studi komparasi dengan komunitas tunggal (comparative study with single community);
  2. studi dengan multi-komunitas (multy-community studies);
  3. survei wilayah (regional survey);
  4. analisa tingakat nasional (national-level analyses);
  5. studi komparasi tingkat nasional (comparative multy-national studies); dan
  6. studi teori dan metodologi secara umum (general theoritical and methodological studies).
Pada skala kecil tujuan studi antropologi perkotaan fokus utamanya: mengenai individu-individu di dalam sejarah kehidupannya, spesifikasi pada konteks masyarakat (seperti, marketplaces, gangs, shopping centers), unit-unit tempat tinggal, dan tempat kerja.


Antropologi dan Urbanisme

Urbanisasi antropologi (migrasi desa-kota) berdiri saling memotong di antara kota dan desa. Bidang ini spesial kuat berkembang dalam penelitian di Afrika oleh para antropolog Inggris, dan studi di Amerika Latin oleh peneliti dari Amerika. Di sini penekanan dalam skala luas tergantung dari pergerakan fisik penduduk desa ke kota-kota dan adaptasi populasi dari imigran terhadap lingkungan barunya difokuskan mengenai perubahan struktur sosial, hubungan interpersonal dan identitas kolektif di dalam kota (Abu-Lughod 1962). Kecenderungan dari urbanisasi menunjukkan, bahwa jumlah penduduk yang akan berurbanisasi akan bertambah di masa medatang. Untuk itu bidang antropologi kemungkinan akan memusatkan ke dalam antropologi perkotaan (Ansari & Nas 1983:6)


Anthropology in Cities and Anthropology of Cities

Ada jarak di antara “antropologi yang melakukan riset dalam kota, tetapi tanpa banyak memahami konteks perkotaan, hanya menitik beratkan pada struktur kehidupan kota dan pengaruhnya dalam perilaku manusia atau silang budaya, dan mereka yang menitik beratkan pada perkembangan dari sistem internasional perkotaan melalui waktu dan ruang sebagai perbedaan wilayah sosial-budaya dan politik-ekonomi” (Kemper 1991b: 374).

Antropologi perkotaan di tahun 1960-an dan 1970-an difokuskan pada issue khusus, sebagai contoh, migrasi, pertalian keluarga (kinship), kemiskinan, dan lain sebagainya. Di tahun 1980-an diperluas ketertarikan pada semua aspek dari kehidupan perkotaan (urban life). Di dalam prakteknya, antropologi perkotaan telah melebur pada bagian khusus dari geografi, ekologi, dan disiplin lainnya. Issue kontemporer dari antropologi perkotaan meliputi :
  • Masalah perkotaan;
  • Migrasi desa-kota;
  • Adaptasi dan penyesuaian dari manusia dalam populasi lingkungan yang padat
  • Efek dari penataan kota di atas pluralisme budaya dan stratifikasi sosial;
  • Hubungan sosial (social networks);
  • Fungsi dari paertalian keluarga;
  • Pertumbuhan dari kota;
  • Kejahatan (crime);
  • Perumahan (housing);
  • Arsitektur;
  • Transportasi;
  • Penggunaan dari ruang (use of space);
  • Pekerja (employment); 
  • Infrastruktur; dan 
  • Demografi/kependudukan.

Masyarakat Kota sebagai Community

Adalah suatu kelompok teritorial di mana penduduknya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan hidup sepenuhnya. Dengan demikian, suatu community memiliki ciri-ciri :
  1. Berisi kelompok manusia; 
  2. Menempati suatu wilayah geografis;
  3. Mengenal pembagian kerja ke dalam spesialisasi dengan fungsi-fungsi yang saling tergantung; 
  4. Memiliki kebudayaan dan sistem sosial bersama yang mengatur kegiatan mereka; 
  5. Para anggotanya sadar akan kesatuan serta kewargaan mereka dari community; dan 
  6. Mampu berbuat secara kolektif menurut cara tertentu. 
Hal ini dapat diperjelas lagi bahwa community dapat dibagi menurut jenisnya menjadi empat jenis community: Rural; Fringe (pinggiran); Town; dan Metropolis. Sedangkan kondisi-kondisi yang diperlukan bagi suatu kota (city) adalah :
  1. Pembagian kerja dalam spesialisasi yang jelas;
  2. Organisasi sosial lebih berdasarkan kelas sosial dari pada kekeluargaan;
  3. Lembaga pemerintah lebih berdasarkan teritorium daripada kekeluargaan;
  4. Suatu sistem perdagangan dan pertukangan;
  5. Mempunyai sarana komunikasi dan dokumentasi; dan
  6. Berteknologi yang rasional. 
Kota di dunia Barat masih terbagi atas jenis town dan city, dan masing-masing disebut coraknya menurut fungsi dominan, sehingga ada kota pertambangan, tangsi, pemerintahan, pendidikan, perdagangan, industri, turisme, dan sebagainya.


Kriteria Kota dan Definisinya

Kota dapat berupa town (kota kecil) dan city (kota besar). Di Denmark, Swedia, Albania, dan Finlandia permukiman dengan 200 jiwa sudah disebut town; Di Argentina dan Kanada suatu tempat dengan 1.000 jiwa sudah disebut kota, sedangkan di Amerika Serikat, dan Meksiko 2.500 jiwa; Di Italia, Yunani, dan Spanyol untuk dapat digolongkan kota penduduknya paling sedikit 10.000 jiwa; dan Di Nederland dengan 20.000 jiwa, sedang di Indonesia menurut sensus 1971 juga 20.000 jiwa ditambah dengan beberapa syarat fasilitas lain. Contoh lain yang dikemukakan oleh Wilcox, daerah dengan jumlah penduduk 100 jiwa disebut community; 100 hingga 1.000 jiwa disebut village, dan 1.000 jiwa ke atas disebut city.


Perbedaan antara Kota dan Desa

PJM. Nas (1979) menjelaskan bahwa :
  1. Kota bersifat besar dan memberikan gambaran yang jelas, sedangkan pedesaan itu kecil dan bercampur-baur, tanpa gambaran yang tegas; 
  2. Kota mengenal pembagian kerja yang luas, desa (pedalaman) tidak; 
  3. Struktur sosial di kota differensiasi yang luas, sedangkan di pedesaan relatif sederhana;
  4. Individualitas memainkan peranan penting dalam kebudayaan kota, sedangkan di pedesaan hal ini kurang penting; di pedesaan orang menghayati hidupnya terutama dalam kelompok primer; dan
  5. Kota mengarahkan gaya-hidup pada kemajuan, sedangkan pedesaan lebih berorientasi pada tradisi, dan cenderung pada konservatisme. 
Dunia Barat dalam Sosiologi Perkotaan membuat perincian objek studi sebagai pengkhususan :
  1. Kemiskinan dan ketergantungan; 
  2. Salah adaptasi perorangan dan disorganisasi kepribadian; dan 
  3. Kenakalan remaja dan kejahatan. 
Untuk mempelajari itu semua dicakup tiga pokok sebagai berikut:
  • Persebaran keruangan dari gejala dan tempat tinggal para pelakunya; 
  • Studi khusus terhadap para pelaku kejahatan untuk mengetahui jenis dan dalamnya motivasi; dan 
  • Menstudi kejahatan yang diorganisasikan (termasuk parageng-nya).

Ciri-Ciri Struktur Sosial Kota

Struktur sosial dari kota dapat dirinci atas beberapa gejala sebagai berikut :
  1. Heterogenitas sosial, kepadatan penduduk mendorong terjadinya persaingan dalam pemanfaatan ruang; 
  2. Hubungan sekunder, jika hubungan antar penduduk di desa disebut primer, di kota disebut sekunder; 
  3. Kontrol (pengawasan sekunder), di kota orang tak mempedulikan peri laku pribadi sesamanya; 
  4. Toleransi sosial, orang-orang kota secara fisik berdekatan, tetapi secara sosial berjauhan; 
  5. Mobilitas sosial, di sini yang dimaksud adalah perubahan status sosial seseorang; 
  6. Ikatan sukarela, secara sukarela orang menggabungkan diri ke dalam perkumpulan yang disukainya; 
  7. Individualisasi, merupakan akibat dari sejenis atomisasi, orang dapat memutuskan apa-apa secara pribadi, merencanakan kariernya tanpa desakan orang lain; dan
  8. Segregasi keruangan, akibat dari kompetisi ruang terjadi pada pola sosial yang berdasarkan persebaran tempat tinggal atau sekaligus kegiatan sosial-ekonomis.

Urbanisasi dan Urbanisme

PJM. Nas (1979:42), berbendapat bahwa urbanisasi adalah proses yang digerakkan oleh perubahan-perubahan struktural dalam masyarakat, sehingga daerah-daerah yang dulu merupakan daerah pedesaan dengan struktur mata pencaharian yang agraris maupun sifat kehidupan masyarakat lambat laun atau melalui proses yang mendadak memperoleh sifat kehidupan kota. Urbanisasi yang berarti “gejala perluasan pengaruh kota ke pedesaan, baik dilihat dari sudut morfologi, ekonomi, sosial, maupun sosial-psikologis”. Konsep urbanisasi juga mencakup: pertumbuhan suatu permukiman menjadi kota (desa menjadi kota), perpindahan penduduk ke kota (dalam bentuk migrasi mutlak, atau ulang alik), atau kenaikan prosentase penduduk yang tinggi di kota. Istilah urbanisasi dalam garis besarnya mempunyai dua pengertian: pertama, urbanisasi berarti proses pengkotaan, yakni proses pengembangan atau mengkotanya suatu daerah (desa). Kedua, urbanisasi berarti perpindahan atau pergeseran penduduk dari desa ke kota.

Migrasi ke kota terjadi karena adanya perbedaan kemajuan antara kota dan desa. Kehidupan kota yang jauh lebih enak, banyak kesempatan kerja yang bisa diperoleh di kota, mengundang penduduk desa untuk datang ke kota. Dengan demikian erat kaitan antara proses urbanisasi dan sarana komunikasi serta transportasi modern telah menyebabkan terjadinya dua gejala yaitu gejala peleburan kesatuan-kesatuan komuniti kecil menjadi kesatuan komuniti yang lebih besar; dan gejala permasahan masyarakat, sebagai ciri kebudayaan modern.

Proses urbanisasi tidak hanya proses difusi kebudayaan kota ke desa, tetapi juga terhadap masyarakat kota itu sendiri. Karena dalam kenyataan di kota-kota (termasuk kota besar) dalam negara-negara berkembang masih terdapat “desa-desa” di dalamnya.

Kingsley Davis, membedakan urbanization dari growth of cities, yang menyatakan proporsi dari penduduk yang tinggal di kota. Dapat saja terjadi pertumbuhan di kota tanpa terjadi peningkatan urbanisasi. Proses urbanisasi terbatas, yaitu sampai tercapai seratus persen, sedang pertumbuhan kota berjalan tanpa ada batasnya. Di negara-negara yang maju urbanisasi menciptakan dua kelas masyarakat, yaitu proletariat kota (mereka yang gagal dalam social climbing), dan kelas yang terdiri atas kaum lapisan sosial menengah (tukang dan pedagang).

Di Inggris, urbanisasi berjalan berdampingan dengan industrialisasi. Di sini muncul tiga fenomena secara bersamaan, yaitu ekspansi penduduk, pertumbuhan kota, dan perubahan industri. Industrialisasi di Barat dalam abad ke-19 dan yang terjadi di Asia Tenggara mempunyai trend yang lain, di Barat pendorongnya adalah revolusi teknologi, sedang di Asia Tenggara keparahan krisis ekonomi di pedesaan yang agraris. Sosiolog Louis Wirth mengatakan makin besar tempat tinggal, makin padat penduduknya, makin heterogen manusianya, maka makin menonjol karakteristik masyarakatnya.

Di samping itu Louis Wirth juga menjelaskan bahwa urbanisasi menimbulkan inovasi, spesialisasi, diversitas, dan anonimitas. Kota dapat menciptakan cara hidup yang berbeda, disebutkan dengan istilah Urbanisme; dan Luas (size), kepadatan (density), dan heterogenitas (heteroginity) merupakan variabel bebas yang menentukan urbanisme, atau gaya hidup kota.


Migrasi Desa-Kota dan Pertumbuhan Kota

Di Eropa, penduduk yang meninggalkan rumahnya untuk ke kota telah benar-benar pindah dari cara hidup desa ke tradisi perkotaan di mana mereka telah bermigrasi. Meninggalkan wilayah desa masuk ke kota yang terorganisir, terjadi setelah adanya faham dari luar, hal ini sebagai akibat dari kolonialisme Eropa. Dalam artikel “The Cultural Role of Cities,” Redfield & Singer mengatakan, istilah primary urbanization and secondary urbanization digunakan untuk membedakan antara perkembangan kota sebagai natural outgrowth (hasil alami) dari tradisi-tradisi yang menjadi bagian mereka (primary urbanization); serta peradaban atau pra-peradaban masyarakat jelata (folk society) dari tradisi-tradisi perkotaan sebagai hasil pengaruh dari luar (secondary urbanization).


Cityward Migration: The “Push” Factor

Bahwa yang permulaan mendiami kota, adalah kaum migran yang telah “ditekan” untuk meninggalkan tempat tinggal di desa atau kota-kecil, sebagai akibat dari faktor kesukaran ekonomi, dari pada “tarikan” oleh kesempatan kerja di kota. Beyond push and pull cityward migration as a multidimensional phenomenon. Meningkatnya urbanisasi di dunia dapat di analisis dari :
  1. Tipe dari urban migration; dan 
  2. Kebudayaan, ekonomi, dan motivasi personal dari pergerakan penduduk. 
Variasi dari migrasi ke kota dapat dibagi menjadi beberapa kategori (Hackenberg & Wilson) :
  • Sedentary, pola pergerakan individu terutama dibatasi pada wilayah tempat tinggalnya, yang kadang-kadang mengunjungi lokasi-lokasi ritual dan seremonial; 
  • Circulatory, pola pergerakan individu dilakukan paling tidak sekali, atau beberapa kali, pada urban setting untuk periode yang panjang, tetapi mereka tetap tinggal di tempat komunitasnya;
  • Oscillatory, mereka telah meninggalkan tempat asalnya untuk periode yang panjang dan kembali ke tempat asalnya, namun tidak menetap di tempat asalnya, karena sudah menetap di kota secara permanen; dan 
  • Linear, imigran benar-benar migrasi dari desa ke kota dengan pengertian mereka meninggalkan tempat asalnya dan tidak pernah kembali. 

Kemiskinan di Perkotaan

Budaya kemiskinan (culture of poverty) merupakan interpretasi kemiskinan sebagai gaya hidup yang bersifat integral, di mana terjadi bentuk-bentuk tertentu dari penyesuaian dan partisipasi terhadap dunia yang ada di sekelilingnya (Oscar Lewis). Munculnya budaya khusus tentang kemiskinan yang menentukan sepenuhnya hubungan antara individu dan kepribadian kaum miskin.

Berikut ada lima jenis kebijakan dalam memecahkan masalah kawasan kumuh di perkotaan (Johnstone) :
  1. Sikap laisser fair, pemerintah membiarkan dibangunna perumahan liar mengikuti permainan ekonomi; 
  2. Alamist approach, pendekatan yang memandang bermunculannya gubug-gubug reyot kaum papa sebagai ancaman; 
  3. Pendekatan sesisi (partial approoach), pemerintah memberikan subsidi kepada perushaan swasta yang mendidrikan perumahan bagi penduduk yang mampu membayar secara kredit; 
  4. Total approach, pendekatan menyeluruh, pemerintah mendirikan secara besar-besaran perumahan untuk kaum ekonomi lemah; dan 
  5. Pendekatan progresif (progresisive approach), pemecahan bersama penghuninya.

Peradaban Kota

Peradaban istilah terjemahan dari civilization, dengan kata latin civis (warga kota) dan civitas (kota; kedudukan warga kota). Peradaban mewujudkan puncak-puncak dari kebudayaan (Huntington). Di samping hal itu, Franz Boas mengatakan, lahirnya kultur sebagai akibat dari pergaulan manusia dengan lingkungan alamnya. Meliputi budaya material, relasi sosial, seni, agama, dan sistem moral serta gagasan dan bahasa. Definisi budaya memberikan tekanan pada dua hal: pertama, unsur-unsurnya baik yang berupa adat kebiasaan atau gaya hidup hidup masyarakat yang bersangkutan; dan kedua, fungsi-fungsi yang spesifik dari unsur-unsur tadi demi kelestarian masyarakat dan solidaritas antar individu.

Antropolog Malinowski (1944), membedakan lagi budaya material dan yang spiritual: pertama, menyangkut adat-kebiasaan dan pranata kemasyarakatan; dan kedua, menyangkut berbagai harapan, nilai dan gagasan yang berlaku umum. Sejarawan Oswaldo Spengler, memandang kultur sebagai pertumbuhan jiwa manusia yang bermasyarakat, dalam makna yang serba asli, mengandung kehidupan dan bersifat mulia, kuat, dan kaya.

Hal ini berbeda dengan pendapat Huntington, bahwa civilization adalah puncak-puncak dari kultur. Dalam tafsiran Spengler justru sebaliknya, yakni bahwa Zivilization adalah lebih rendah daripada kultur karena merupakan hasil dari pemerosotannya.


Sikap Manusia Terhadap Kota

Dalam menilai kota terdapat polarisasi antara dua faham. Golongan kolot, yakni para localis yang lebih berpangkal pada emosi, pengamatan pribadi, dan nostalgi. Mereka berpendapat bahwa yang ada tak usah dirubah, demi nilai sejarahnya. Golongan cosmopolitans, menghendaki perubahan drastis, yakni supaya wajah kota dirubah, sehingga lebih nampak corak modern dan internasional. Bagi localis ini berarti perlindungan terhadap yang ada. Sedangkan bagi cosmopolitans, itu berarti pemugaran yang disertai pertimbangan penggunaan ruang secara efektif dan kreatif.

Dalam filsafat mengenai kota dibicarakan pula faham mereka yang disebut “pembenci kota” dan “pencinta kota”. Para pembenci kota terdiri atas mereka yang putus asa dalam menghadapi kebobrokan kehidupan dalam kota. Kota mereka pandang sebagai sumber gejala kekerasan, pemabukan, penyakit jiwa, kejahatan, frustrasi, perceraian, dan sebagainya. Sehubungan dengan itu Arsitek Frank Lloyd Wright, melukiskan manusia kota sebagai ternak goblok atau kelompok semut yang berputar-putar bingung mencari lubangnya. Filsuf abad ke-19 Emerson, memperingatkan bahwa kota menjadikan manusia semakin cerewet dan keranjingan hiburan serta iseng.

Tokoh pembenci kota dalam sejarahnya adalah Jenghis Khan, selama hidupnya merasa diancam oleh kota, dalam rangka meluaskan kerajaannya, kota-kota di Asia banyak yang dihancurkan dengan sewenang-wenang. Dalam mengupas “pencinta kota”, F.L. Wright membagi manusia purba atas dua golongan: pertama, penghuni gua, ini seperti manusia kota sekarang; dan kedua, mereka yang berpindah-pindah, ini mirip petualang berasal dari pedesaan sekarang.

Dengan adanya gejala urbanisasi yang melanda dunia sekarang ini para “pecinta kota” membela diri: kaum urbanis dengan sukarela meninggalkan desa karena mereka ingin terlepas dari cengkeraman kebodohan, dan sedikitnya kesempatan untuk maju.

Sumber Pustaka :
Ansy’ari, S.I. 1993. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional.
Basham, R. 1978. Urban Antrophology: The Cross-Culture Study of Complex Societies. United States of America: Mayfield Publishing Company.
Daldjoeni, N. 1977. Seluk Beluk Masyarakat Kota (Pusparagam Sosiologi Kota dan Ekologi Sosial). Bandung: P.T. Alumni.
Nas, d. P. J. M. 1979. Kota di Dunia Ketiga: Pengantar Sosiologi Kota. Jilid 1. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Pemahaman-Pemahaman Tentang Sosio-Antropologi Perkotaan"

Posting Komentar